LINGKUNGAN HIDUP


.

Kita semua tentunya tahu dan mengerti, bahwa manusia sebenarnya dapat hidup secara harmonis dengan alam, seandainya manusia memperlakukan alam dengan baik, dan tidak memanfaatkan sumber daya alam yang dikandung tidak berlebihan.

Namun kini manusia telah menerima akibat dari ulahnya sendiri, karena telah mengabaikan sebuah konsep keseimbangan, demi untuk meningkatkan kesejahteraannya, manusia melakukan pemanfaatan yang berlebihan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan semakin meningkat seiring dengan terus berkembangnya peradaban manusia dan pemenuhan kebutuhan hidup. Kini, ketika kualitas hidup mulai terasa semakin menurun, bumi mulai terasa sesak, dan kapasitas alam mulai menyentuh batas jenuhnya, masyarakat mulai menaruh perhatian pada topik-topik sekitar alam.

Salah satu permasalahan adalah tentang pelestarian alam dan lingkungan hidup, dan berkurangnya keanekaragaman hayati dan menurunya kwalitas lingkungan di seluruh penjuru dunia. Manusia senantiasa membutuhkan sumber daya alam, tanpa melakukan pemanfaatan dan pengelolaan yang bijaksana. Ratusan ribu spesies terancam dan menuju kepada kepunahan, dalam jangka waktu yang sangat singkat dalam sejarah hidup menusia. Keadaan ini harus menjadi perhatian utama kita untuk malakukan usaha pelestarian alam dan isinya yang kini masih tersisa, karena keberadaan umat manusia dan sumber daya alam merupakan sebuah kesatuan ekosistem.

Usaha-usaha untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan mempertahankan kwalitas lingkungan hidup yang seimbang dalam segala bentuk belumlah mencapai hasil yang memuaskan. Kualitas lingkungan dan kehidupan manusia terus menurun akibat ulahnya sendiri. Salah satu penyebab ulah manusia yang tidak peduli itu, adalah ketidaktahuannya mengenai peran keanekaragaman hayati dan perlunya pelestarian lingkungan hidup untuk menopang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, pendidikan pelestarian (konservasi) alam dan lingkungan hidup harus segera diperkenalkan sedini mungkin secara luas, dan berkesinambungan kepada masyarakat luas baik formal maupun informal.

Banjir dan Kekeringan.
Kata bencana alam atau lebih pasnya lagi adalah bencana lingkungan, telah nampak. Bencana ini dipicu dari kerusakan lingkungan yang ada di sekitar kita. Hulu sungai mulai tidak dapat menampung lagi curah hujan yang tinggi, karena tidak ada pohon lagi yang dapat menahan air yang tumpah dari langit. Sementara masyarakat perkotaan, setiap tahunnya akan tertimpa dampaknya seperti banjir dan kekurangan air bersih.

Sementara di hulu sungai, berita tanah longsor sering terjadi. Lahan yang berbukit dengan tingkat kemiringan lebih dari 45°, dijadikan lahan pertanian. Kota dan desa, saat ini merasa was-was bila hujan tiba. Bukan berkah, melainkan takut ada musibah. Sementara perkotaan dengan permasalahan sampah yang meningkat, menambah kondisi yang semakin pelik. Dahulu masyarakat di lereng Merapi atau di Bolaang Mongondow Sulut, sangat mendambakan hujan turun untuk pertanian, kini konon khabarnya bila hujan tiba, sangat was-was bila terjadi tanah longsor. Di salah satu kecamatan di Sulawesi Utara, tahun 2006 dan 2008 ini, terjadi banjir bandang dan menenggelamkan lebih dari separuh kecamtan itu. Tragis memang.

Hidup dalam kecemaan. Hidup dalam kekhawatiran. Takut kekurangan air, namun trauma bila terjadi banjir bandang dan longsor.

Hidup Dalam Kecemasan
Di hulu sungai yang menjadi daerah tangkapan hujan, kini telah berubah, hampir dipenjuru bumi pertiwi ini. Hutan-hutan sudah memulai berubah menjadi ladang dan perkebunan, tanpa mempedulikan akibat yang akan ditimbulkan. Apalagi saat ini memulai berlomba untuk membabat hutan untuk perkebunan yang mengorbankan hutan kita. Dalam laporan Inform 2003, nampaknya kita ngeri melihat kerusakan hutan yang terus berlanjut. Diperkirakan hutan kita rusak 10 kali lapangan bola per menit. Jadi kalau anda membaca artikel ini selama 2 menit, sudah hilang hutan atau hutan berubah menjadi berbagai keperuntukan.

Beberapa tahun silam, belum ada khabar tentang banjir bandang di Kalimantan, Sumatera ataupun Sulawesi, ataupun Papua. Namun kini banjir dan tanah longsor telah menghiasi media tatkala hujan tiba, atau kekeringan saat kemarau datang.

Kearifan lokal di berbagai daerah memulai ditinggalkan atau luntur, karena masayarakat memulai mengubah alam untuk berbagai kepentingan. Dulu orang pribumi Kalimantan menebas dan membakar hutan untuk keperluan, tak ada dampak yang nyata terhadap alam ini. Namun kini jauh berbeda dengan masa yang silam. Dulu sungai masih mengalir dengan stabil sehingga masih dapat digunakan untuk transportasi, namun kini telah berubah. Banjir bandang saat hujan dan kering dikala kemarau.

Memang semua pasti akan berubah. Berubah lingkungan kita akibat dari pertambahan penduduk yang semakin hari semakin bertambah. Kalau dua puluh tahun lalu Rhoma Irama bernyanyi tentang "135 juta penduduk Indonesia", mungkin kalau dinyanyikan saat ini tentu akan berubah menjadi "235 juta penduduk Indonesia".

Masayakat di pesisir, tak jauh beda dengan di pegunungan sana. Kadang lebih tragis lagi.banjir bandang yang dikirim dari daerah hulu, akan sangat menyengsarakan masyarakat di perkotaan yang tinggal di pesisir. Belum lagi gelombang pasang saat ini, sudah memulai dirasakan dan menimpa kehidupan di pesisir Jakarta. Mungkinkah tanda-tanda kehancuran sudah ditampakkan oleh Sang Kholik, agar kita semua menyadari?

Jikalau ...
Seandainya kita bisa kerjasama, dan bukan sama-sama kerja (tentu beda ya), pasti bisa. Kerja sama dari hulu hilir dan memerankan peranannya dalam sebuah ekosistem kehidupan. Namun kini belum banyak yang menyadari akan hal ini. Memulai dari perubahan diri pemanfaatan energi (listrik, BBM dll).
Seandainya kita bisa kerjasama untuk memperbaiki lahan di daerah hulu, agar pepohonan dapat menahan air hujan, tentu pasti berkurang bencana yang datang.

Seandainya negara-negara maju mau mengurangi emisi karbonnya, dan tidak hanya mengandalkan kekayaan untuk membeli atau "menebus dosa" dengan memberikan "dollar" untuk negara miskin agar menjaga hutan.
Seandainya para pemegang keputusan tadak hanya bisa mengejar kemajuan ekonomi, namun mengembangkan ekonomi yang sebanding dengan pelestarian, dan memikirkan sebab akibatnya sebelum menanda tangani kontrakkerja dengan pengusaha.

Seandainya kita mempunyai prinsip seperti nelayan di pesisir timur Jatim, yang beani menolak eksplorasi tambang di sebuah gunung di sana, sehingga Ketua DPRD berani membatalkan rekomendasi. Dan bukan memberikan katabelece, pengubahan status lahan seperti yang terjadi di Riau ...

Seandainya kita, esok hari bisa berubah untuk mengurangi penggunaan energi, dengan menggunakan kendaraan umum walau harus berdesakan dan belum manusiawi. Atau esok hari mulai mengurangi penggunaan plastik untuk berbagai keperluan, seperti yang dilakukan sebuah SD di Malang yang di dalam komplek sekolah tak ada kata plastik, dimana sekolah itu masuk nominasi sekolah ramah lingkungan.

Dan masih banyak lagi "seandainya" yang mendukung "penghematan" dalam kehidupan. Pasti kita bisa dan hidup serasi dengan alam, tanpa merasa was-was dan hidup dalam kedamian.

Your Reply